Versi WALHI, Proyek PLTSa Makassar Ancam Kesehatan dan Rugikan Negara
*KPK sudah mengkaji proyek ini dan mempercepat krisis iklim

KABAR.NEWS, Makassar - Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI Sulawesi Selatan menyebut proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan beroperasi di Tamangapa, Manggala, Kota Makassar, berdampak buruk pada kesehatan masyarakat dan lingkungan.
"Kami melihat PLTSa ini akan berdampak negatif, bisa dibayangkan jika PLTSA ini beroperasi, akan ada polusi, pencemaran B3 yang akan ada di sekitar pemukiman tersebut. Justru PLTSa akan menambah beban ekonomi jika masyarakat terpapar penyakit," kata Tim Riset Pengelolaan Sampah WALHI Sulsel, Mira Janna, dalam diskusi live Instagram tentang Bahaya Laten Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Potret Pengelolaan Sampah Kita, Selasa (22/2/2022).
Menurut Mira, Pemerintah Kota Makassar sejak tahun 2018 sudah melakukan studi kelayakan pembangunan PLTSa Tamangapa. Dari situ, sudah banyak korporasi yang berminat membiaya proyek ini.
Rencananya pembangunan PLTSa Tamangapa akan dimulai pertengahan 2022, tanpa menggunakan APBD maupun APBN tapi dibiayai penuh oleh pihak swasta. Proyek ini diproyeksi beroperasi penuh pada tahun 2024. (Baca juga: WALHI Beberkan Sejumlah Dugaan Pelanggaran Proyek PLTMH Ma'dong Toraja)
Mira berpendapat, PLTSa lebih banyak dampak negatif ketimbang efek positifnya, sebab pembangkit listrik ini akan dibangun di tengah pemukiman padat penduduk di Kecamatan Manggala. Pencemaran fly ash dan bottom ash kemungkinan terjadi dari proses bakar-bakar sampah untuk sumber energi.
"Proyek PLTSa ini tidak dipertimbangkan baik-buruknya. Alih-alih mengelola sampah dengan baik, justru PLTSa ini membutuhkan banyak sampah untuk beroperasi. Ke depan kita diajak untuk terus menghasilkan sampah. Jadi, aturan-aturan lain untuk mengurangi sampah menjadi tidak relevan," beber Mira.
Rugikan Negara Menurut KPK, Percepat Krisis Iklim
Juru Kampanye Berkeadilan WALHI Nasional, Abdul Ghofar mengatakan, proyek PLTSa bertolak dari Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 yang merupakan proyek strategis nasional dalam program kelistrikan. Beleid ini dirubah setelah diuji formil oleh WALHI di Mahkamah Agung.
Dalam Perpres ini disebutkan, PLTSa akan dibangun pada beberapa daerah termasuk di Makassar karena berada dalam kawasan Maminasata. Proyek tersebut menuai banyak kritikan, sebab penanganan sampah tidak dilakukan dari hulu melainkan memakai pendekatan di hilir dengan membangun infrastruktur PLTSa.
"Sebenarnya ada putusan MA yang dilanggar dari setiap pembangunan PLTSa ini, salah satunya larangan pembakaran sampah jika tidak sesuai ketentuan teknis. Sementara PLTSa ini nanti beroperasi dengan teknologi termal kayak insinerator dan gasifikasi," kata Ghofar pada diskusi live Instagram akun Walhi Sulsel.
Pembangunan PLTSa juga dianggap tidak layak secara finansial. Menurut Ghofar, tidak ada proyek strategis nasional yang menggunakan budget rendah. Dia memberi ilustrasi besaran biaya konstruksi hingga operasi PLTSa. (Baca juga: Over Kapasitas, Perluasan TPA Antang Mendesak Dilakukan)
Jika PLTSa Makassar dibangun dengan kapasitas seribu ton sampah, maka investor butuh biaya konstruksi sekurang-kurangnya mencapai Rp1 triliun. Hal itu di luar biaya operasional. Untuk operasional, pemerintah harus membayar tiap ton yang dikelola PLTSa.
"Kalau seribu ton perhari kapasitasnya, berarti setiap ton itu pemerintah harus bayar biaya operasional pengelolaan sampah. Jadi, kalau kita pakai hitungan minimum misal 300 ribu untuk seribu ton, maka biaya operasional per hari yang harus dibayar pemerintah itu sekitar Rp300 juta perhari," jelas Ghofar.
Selain itu, Ghofar menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2020 mengeluarkan hasil kajian proyek PLTSa yang akan dibangun di 12 kota. Menurut lembaga rasuah, PLTSa punya resiko kerugian finansial membebani keuangan negara.
"Jadi ada hitungannya KPK itu Rp3,6 triliun kerugian negara tiap tahun kalau 12 kota ini menjalankan proyek PLTSa. Itu hanya tipping fee dari biaya operasional harus ambil dari APBD, nah satu lagi biaya pembelian listrik dari PLTSa paling mahal 13,5 sen per kwh," ungkap dia.
Ghofar menandaskan bahwa proyek PLTSa juga tidak ramah lingkungan meski diklaim pemerintah rendah emisi karbon. Justru kata dia, proyek bakar-bakar sampah ini tinggi emisi. Artinya, membakar sampah meningkatkan produksi gas rumah kaca yang turut mempercepat krisis iklim.
"Ada potensi mengancam kesehatan masyarakat, dari proses pembakaran ini ada emisi dioxin furan. Kita tidak punya laboratorium untuk uji dioxin furan di Indonesia. Jadi ketentuannya, uji emisi dioxin furan hanya lima tahun sekali. Jadi bayangkan, problemnya tidak punya laboratorium untuk diuji dan hanya bisa lima tahun sekali, jadi ada resiko kesehatan di situ," tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar Ariaty Puspasari Abady mengatakan, pembangunan PLTSa merupakan salah satu strategi untuk mengurangi sampah dengan menjadi energi listrik.
Strategi ini diklaim Ariaty sebagai solusi untuk mengurangi tumpukan sampah yang setiap harinya mencapai 1.100 ton. Dia menyebut, volume sampah sebanyak itu akan direduksi tidak hanya menjadi energi listrik tetapi bisa saja menjadi biogas maupun produk lainnya sebagai energi baru terbarukan (EBT).
"Tapi harus kita ingat, itu hanya salah satu cara untuk menghabiskan sampah karena bisa jadi ada lagi teknologi lain yang hadir dengan melihat karakteristik
dari sampah yang dimiliki Kota Makassar," katanya.