LIPSUS: Tsunami Covid-19 di Sulsel, Petaka Bagi Dokter dan Perawat

Kisah-kisah perjuangan Nakes dan bagaimana penanganan pandemi

LIPSUS: Tsunami Covid-19 di Sulsel, Petaka Bagi Dokter dan Perawat
Tes Swab Covid-19 secara massal digelar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada Oktober 2020 sebagai upaya menekan penularan Virus Corona. (KABAR.NEWS/Irvan Abdullah)






"Tidak ada yang tahu kalau dia membawa riwayat penyakit yang berisiko dalam tubuhnya, jika saja saya tahu dari awal, dia berlutut pun tak akan ku beri  izin untuk ikut merawat pasien karena Covid-19."


Oleh: Rahma Amin


KABAR.NEWS, Makassar - Jumat, 8 Januari 2021, adalah kali kedua Hasrianti bertandang ke pekuburan khusus Covid-19 di Macanda, Kelurahan Romang Polong, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel)


Mengenakan hazmat, Hasrianti menyusuri area pemakaman, mencari satu dari ratusan kubur yang dimakamkan di sana sejak awal 2020 ketika Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menyerang Sulsel dan menelan lebih dari 700-an nyawa hingga Desember lalu. 


Langkah Hasrianti terhenti di depan nisan bertuliskan Khaerul Arham, makam laki-laki yang wafat Jumat, 18 September 2020. Matanya merekah, air seketika berlinang saat sudah di depan kubur, ia mengambil posisi jongkok, meraih batu nisan di depannya lalu mengusap, memberi tanda kepada pemilik kubur bahwa ia ada di sana.


Segenggam bunga diambilnya, lalu ditabur di pusara yang basah diguyur hujan. Lafaz doa puji-pujian kepada sang khalik ia kirimkan untuk ketenangan pria yang dicintainya itu. 


Luka orang-orang yang ditinggalkan atas kepergian Khaerul belum sembuh betul, seketika kembali tergores tatkala mengingat kenangan laki-laki yang baru berusia 27 tahun itu. Teruntuk bagi Hasrianti, sang istri yang belum setahun ia persunting. Hanya kata ikhlas yang selalu diingat dan coba ditanam Hasrianti untuk melepas kepergian Khaerul selamanya.


"Jalannya Tuhan sudah seperti ini, kita tidak ingini tapi keinginannya Tuhan maunya ini, yah sudah ikhlas saja, meski pun berat saya rasa," tutur Hasrianti menyapu air yang menetes di pipinya. 


Ada rasa penyesalan dalam diri perempuan yang terpaut lebih tua setahun dari suaminya itu, ketika mengizinkan Khaerul ikut dalam garda terdepan menangani pasien Covid-19 di rumah sakit.


Sebagai perawat jantung di PJT Lantai Lima RSUP Wahidin Sudirohusodo, tempat sang suami bekerja sejak tahun 2017 lalu, Khaerul diceritakan Hasrianti langsung menawarkan diri bergabung dalam satuan tugas (Satgas) yang dibentuk Wahidin sebagai penyanggah pasien Covid-19.


Meskipun di awal Maret ketika pasien pertama positif Covid-19 ditemukan di Sulsel, tawaran diri Khaerul belum dipenuhi pihak RS. Sebab saat itu, perawat yang disyaratkan ikut menangani pasien Covid-19 oleh ketentuan pihak RS adalah mereka yang masih lajang atau belum berkeluarga.


"Saya tidak tahu kenapa, tapi mungkin pertimbangannya karena kalau single mereka belum punya anggota keluarga di rumah yang akan ditemui dan berpotensi ditulari. Dia (Khaerul) sempat cerita itu," terang Hasrianti. 


Khaerul, lanjut Hasrianti, baru mulai dilibatkan dalam tim satgas Covid-19 di RS ketika masuk bulan Mei, dimana terjadi lonjakan pasien yang begitu besar saat itu sehingga sulit bagi perawat dengan status belum berkeluarga menanganinya sendiri. Olehnya, Wahidin membutuhkan tambahan tenaga perawat. Di situlah Khaerul terlibat, meski pihak RS tidak mewajibkan perawatnya, karena sifatnya hanya sukarela.


"Waktu minta izin ke saya, awalnya saya tidak mengizinkan. Karena awal-awal itukan Covid-19 ini terdengar sangat seram sekali, banyak orang mati. Tapi almarhum ngeyel, dia bilang ini tugas kemanusiaan tidak boleh dilarang sayang," cerita Hasrianti meniru Khaerul. 

Rasa kepedulian Khaerul dikatakan sang istri memang tinggi, itu ia ingat ketika terjadi bencana Tsunami di Palu tahun 2019 lalu, "Dia juga ikut, kegiatan sosial lainnya juga sering diikuti," tambahnya.


Sebulan bekerja, Khaerul sempat setop dari tim Covid-19 di RS, sebab saat itu ia punya job lain menangani pasien di rumah (Home care). "Jadi dia menangani pasien di rumah, sementara kalau masuk tim kan tidak bisa ke mana-mana harus stay di RS," katanya.


Khaerul kembali bertugas di Wahidin dan bergabung dalam tim pada awal Juli. Satu bulan sekembali bertugas, ia harus dikarantina karena terdeteksi positif Covid-19.


"Sempat di Karantina di Balai Besar Kesehatan selama 10 hari, tapi saat itu tidak demam hanya nafsu makan yang menurun, setiap makan inginnya muntah terus," katanya.

Sepuluh hari dikarantina, Khaerul diizinkan keluar setelah menjalani rapid test dan hasilnya non reaktif. Ia lalu meminta kepada sang istri untuk dibawa pulang di kampung halaman, Kabupaten Sinjai. 


Delapan hari di Bumi Panrita Kitta, Sinjai, kondisi Khaerul membaik. Ia merasa badannya lebih enteng dibawa. "Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Makassar melanjutkan tugas," katanya.


Namun Khaerul merasa kondisi kesehatannya kembali jatuh setiba di Makassar. Ia dibawa ke ruang UGD untuk menjalani pemeriksaan. Setelah dilakukan pemeriksaan tekanan darah, hasilnya mencapai 235 mHg. Hasrianti sempat syok, sebab tak pernah tahu kalau suaminya punya riwayat hipertensi hingga mengganggu fungsi ginjalnya.


"Dari hasil pemeriksaan computerized tomography scan (CT) Abdomen, ada luka di Pankreatitis. Sebelumnya tidak pernah seperti ini, makanya kaget saat tahu," ucap Hasrianti.


Enam hari dirawat di ruang ICU, Khaerul menunjukkan gejala seperti demam dan gangguan pencernaan, ciri seseorang terinfeksi Covid-19. "Ia lalu di-swab sebab ada instruksi dari dokter untuk dilakukan cuci darah, agar alat yang digunakan steril untuk pasien yang tidak Covid-19. Hasilnya positif," cerita Hasrianti.


Usai cuci darah, kondisi Khaerul sempat membaik tetapi tidak berselang lama kesehatannya kembali drop. Ia lalu dipasangkan ventilator karena tak sanggup lagi bernafas normal.

"Lima hari sebelum berpulang, di situ kondisinya naik turun, pas di hari terakhirnya itu saya sempat menemani hingga Jumat pagi, saya baru berencana mau kembali menemani usai salat Jumat di hari itu, tapi dokter sudah angkat tangan, semua tindakan medis nihil, tidak ada lagi yang berfungsi. Hingga RJP, detak jantung sudah tidak ada. Dia sudah tiada," urainya berlinang air mata.


Hasrianti merunut satu per satu rentetan cerita yang disampaikan sang suami selama kurang dari setahun ia hidup bersama, meski harus Long Distance Relationship (LDR) karena urusan pekerjaan masing-masing. 


Ia mengatakan, suami sempat mengeluh kalau tekanan darahnya tinggi, namun tidak diobati karena belum sempat berkonsultasi ke dokter hingga kemudian disibukkan dengan penanganan Covi-19 di rumah sakit.


Mengenai penyebab ia terinfeksi virus, Hasrianti yang juga merupakan perawat itu tahu betul risiko itu memang besar terjadi terhadap tenaga kesehatan khususnya perawat. 


"Kalau masalah APD saya kira bukan, karena kelangkaan APD terjadi di awal-awal Covid-19, sementara dia baru bertugas di pertengahan tahun dimana APD sudah tersedia. Mungkin dia lalai, kita tidak tahu," tuturnya.


Ia menduga, ketidakmampuan suaminya melawan virus karena riwayat peyakit yang tidak ia sadari sudah lebih dulu bersarang, memperparah kondisi Khaerul hingga menyebabkan pria tersebut tidak tertolong. 


Jika dari awal tahu bahwa Khaerul menderita hipertensi, Hasrianti, juga bahkan pihak RS tidak akan memberi ruang Kahaerul masuk dalam tim. Hasrianti menjelaskan, hipertensi risikonya adalah berujung ke gangguan ginjal. 


Sementara, perawat yang bertugas risikonya harus mampu menahan haus, tidak minum hingga berjam-jam lamanya, menahan buang air saat pakaian hazmat dikenakan dan itu sangat berdampak fatal pada penderita hipertensi.


"Mungkin itu penyebabnya. Tidak ada yang tahu kalau dia membawa riwayat penyakit yang berisiko dalam tubuhnya, jika saja saya tahu dari awal, dia berlutut pun tak akan ku beri izin untuk ikut merawat pasien karena Covid-19," tandas dia.

Oleh pemerintah, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Khaerul mendapat santunan sebesar Rp300 juta yang diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan. Hasrianti juga mengaku BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan sebesar Rp170 juta. (Lihat juga: Ahli Waris Pasien Covid-19 Kurang Berminat Urus Dana Santunan)


“Sebagai organisasi profesi, PPNI juga memberikan santunan bela sungkawa kepada almarhum sebesar Rp5 juta dan piagam penghargaan tertinggi,” sebutnya.


Korban Strategi Penanganan yang Keliru


Desember 2020 lalu genap satu tahun kasus Covid-19 pertama ditemukan di Wuhan, Cina. Penyakit yang sebelumnya tidak terpikirkan bakal menular hingga hampir ke seluruh belahan dunia. Indonesia, Sulsel khususnya di Makassar, menjadi kota tertinggi kasus penularan. 


Seiring dengan meluasnya penyakit ini,masalah-masalah di bidang kesehatan semakin  terlihat  jelas. Bahkan aspek yang paling besar menerima dampaknya adalah para Nakes seperti dokter dan perawat .


Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melaporkan total kematian dokter di Indonesia akibat Virus Corona penyebab Covid-19 mencapai 237 jiwa per Januari 2021.


Tim Mitigasi IDI lalu menjabarkan 237 orang dokter yang meninggal karena Corona, terdiri dari 101 dokter umum (empat guru besar), 131 dokter spesialis (tujuh guru besar), lima residence, yang seluruhnya berasal dari 25 IDI Wilayah (provinsi) dan 102 IDI Cabang (kota kabupaten).


Di Sulsel sendiri, tercatat sudah 10 dokter yang meninggal dengan status positif Covid-19. Kasus kematian paling tinggi terjadi di Desember 2020, menyusul jumlah pasien yang meningkat di waktu itu. Begitu juga dengan sebaran kematian perawat di seluruh provinsi.


Berdasarkan catatan Persatuan Perawat Nasional Indonesia(PPNI) Per 29 Desember 2020, Sulsel masuk dalam provinsi dengan jumlah kematian perawat terbanyak, yakni 6 orang. 


Secara nasional data perawat dengan status terdampak Covid-19 berjumlah 4.388 orang, 239 suspek, 845 dengan kontak erat, 80 orang status probable, 2.204 yang sembuh dan 169 orang yang gugur.


Humas IDI Makassar, dokter Wachyudi Muchsin mengungkapkan, tingginya pasien Covid-19 di periode Desember hingga Januari adalah imbas dari klaster penyelenggara Pilkada 2020 dan momen libur Natal dan Tahun Baru. Akibatnya terjadi tsunami pasien yang tidak sanggup ditangani oleh nakes.

"Sekarang tingkat okupansi sudah di atas 90 persen, minggu pertama Januari ruang ICU full, dalam sehari pasien yang mengantri untuk ditangani mencapai 15 orang, dokter kewalahan," sebut Wachyudi di Makassar.


Padahal IDI jauh-jauh hari mengingatkan akan tingginya risiko penularan di fase itu. Terbukti, tidak sedikit pula penyelenggara di KPU yang tertular bahkan merenggut nyawa dua calon kepala daerah di Sulsel.


"Sekarang ini banyak nakes dalam proses isolasi mandiri dan sebagian menjalani perawatan di RS karena itu," papar Wachyudi.


Sejak September 2020, sebut dia, kenaikan pasien melonjak tajam pada Desember 2020 dibandingkan bulan sebelumnya. Awal 2021 di Sulsel, peningkatan pasien per hari mulai 1-5 Januari di atas 500 hingga tembus 600 pasien baru. Per 6 Januari, tercatat 463 kasus baru di Kota Makassar sebagai episentrumnya.


Dia berpendapat, pelonggaran aktivitas pelaku usaha juga jadi pemicu tidak terkontrolnya penyebaran Covid-19 di Makassar. Dimana diketahui di awal September sejumlah kelonggaran beraktivitas dikeluarkan oleh pemerintah. Mal, tempat wisata dan sejumlah kegiatan yang memancing kerumunan dilonggarkan, meski dengan embel-embel protokol kesehatan (prokes). (Lihat juga: IDI Makassar Soroti Kebijakan Rudy Longgarkan Jam Malam)


"Acara pernikahan dibolehkan, pesta di hotel, meskipun dengan imbauan prokes yang dilakukan seadanya. Ekonomi memang tidak bisa diabaikan, tetapi yang menjadi panglima tertinggi adalah kesehatan. Ini justru tidak, kesehatan jadi yang terakhir dan mengutamakan ekonomi," keluh dokter koboi, sapaan Wachyudi.


Terkait penularan Covid-19 hingga menyebabkan sejumlah dokter meninggal, kata Wahyu, sebagian karena berkaitan langsung dengan perawatan dan sebagian tidak sama sekali. Artinya, penyebab penularan bisa karena pekerjaan klinis tetapi dapat pula faktor kondisi. 


"Bayangkan orang pakai APD itu 8 jam, tidak boleh makan, tidak minum bahkan pipis pun ditahan, bekerja non-stop, nda ada istirahat. Sementara tenaga terbatas untuk mengganti ditengah jumlah pasien terus meningkat. Ini bukan karena mereka (dokter) lalai, tetapi karena kelemahan fisik," tukasnya.

Sementara, Ketua PPNI Sulsel, Abdul Rakhmat mengungkapkan, banyak perawat yang terkonfirmasi Covid-19 saat sedang bertugas, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa sebagai akibat dari tingginya penyebaran kasus dari hari ke hari.


Karena pasien Covid-19 yang dilarikan ke RS begitu tinggi, di tengah terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan merawat, alhasil terjadi ketimpangan yang tidak berbanding antara rasio perawat dan jumlah pasien yang akan ditangani.

"Rasio perawat dengan jumlah pasien yang ditangani tidak rasional, makanya kami kewalahan," jelas Rakhmat, akhir Desember 2020 lalu saat dijumpai di ruangannya, lantai 5 Gedung Private Care Center (PCC) RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar.

Terutama pasien Covid-19 yang membutuhkan perawatan intensif di ICU, sejumlah RS yang menjadi penyanggah dan pembantu pasien Covid-19, kesulitan perawat yang punya kompetensi dan sudah terlatih di perawatan ICU.


"Kalau pasien di ICU itu kan idealnya 1:1, artinya satu pasien dirawat oleh satu perawat, realitasnya tidak. Bahkan, sekarang 1 perawat menangani empat sampai lima pasien," ungkap dia.

Selain persoalan tenaga yang terbatas, yang membuat perawat ikut terpapar berdasarkan telaah Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) yang ada di RS, diperoleh data bahwa sebagian besar nakes terinfeksi tidak bertugas langsung di ruang Covid-19, tetapi mereka yang berada di ruang perawatan lain.


"Pertama penyebabnya karena banyak pasien yang tidak jujur terkait dengan OTG atau tidak, menyembunyikan riwayat perjalanan akhirnya perawat kecolongan, kedua perilaku petugas sebagian ada yang tidak disiplin itu tidak bisa dipungkiri di tengah potensi terpapar yang sangat tinggi," katanya.

Kondisi RS di daerah yang bukan penyanggah atau pembantu pasien Covid-19 jauh lebih miris, sebab Sulsel hanya menunjuk tiga RS yang jadi penyanggah di awal pandemi yakni selain RS Wahidin Sudirohusodo, RS Sayang Rakyat dan RSUD Dadi Makassar. Sehingga RS di luar itu banyak yang tidak memiliki APD yang memenuhi standar.


"Sementara mereka juga punya potensi berinteraksi dengan pasien yang OTG, ini sering kecolongan," katanya. Menurut Rakhmat, Sulsel sampai saat ini belum pernah mengalami penurunan pasien Covid-19, bahkan di akhir tahun hingga masuk awal Januari, pasien yang dirawat di RS terus saja bertambah. Walaupun kasus stagnan, lebih karena pemeriksaan yang tidak dilakukan.

"Sulsel ini belum pernah kita keluar. kalau kurang yah bisa saja karena tracking atau tastingnya yang kurang. Kita masih dalam masa pandemi yang tidak pernah berubah," jelasnya. 


Olehnya ia berharap ada kesadaran semua pihak, termasuk masyarakat yang menjadi garda terdepan untuk bersama-sama memutus rantai penularan Covid-19.


"Masyarakat di garda terdepan dan tenaga kesehatan adalah benteng terakhir. Karena dia garda terdepan sangat berpengaruh pada pemutusan mata rantai. 3M harus sama-sama dijadikan sebagai kebiasaan baru dalam menjalani hidup sehari-hari, termasuk fasilitas yang belum banyak disiapkan untuk masyarakat. Ini tugas pemerintah," tukasnya.


Sudah Jadi Risiko Pekerjaan


Instruksi Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah agar setiap RS mempersiapkan diri menghadapi lonjakan pasien Covid-19 pada awal Maret lalu dengan sigap dijalankan Direktur Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi Kota Makassar, Dokter Arman Bausat Sp.B (OT).


Sejumlah persiapan dilakukan sejak akhir Maret masuk April 2020. Termasuk, melengkapi fasilitas kesehatan di RS untuk mendukung upaya penanganan pasien Covid-19 yang dirujuk ke sana. "Awal April itu kita sudah standby. Semua kita lengkapi," kata Arman Bausat.


Arman menyebut, ada 250 perawat saat itu yang siap di RSKD Dadi, 10 dokter ahli dan lebih dari 200 kamar perawatan khusus untuk pasien Covid-19. 


Ia mengaku awal pandemi di Makassar pihaknya cukup kesulitan untuk melengkapi tenaga medis dengan APD yang layak. Hal tersebut juga jadi sebab  tingginya penularan terhadap nakes di fase itu.


"Saat ini kita gunakan APD seadanya, beli jas hujan dan penutup kepala yang bisa melindungi tenaga medis kita, kita beli banyak saat itu. Tetapi tidak lama APD dari Dinas Kesehatan yang didistribusikan dari pusat kemudian turun," katanya.


Menurutnya, ketersediaan tenaga medis tidak cukup dengan rasio pasien yang dirujuk ke RS. Meski kekurangan, pihak RS berupaya mengefisiensikan pasukannya dalam penanganan Covid-19. Dari 250 perawat yang disiapkan misalnya, tidak dibiarkan bertempur pada waktu bersamaan meski pasien membludak.


"Tidak sekaligus perawat turun. Karena ini adalah penyakit yang penularannya cepat, kita pertimbangkan risiko terpapar ke perawat juga kurang, alhamdulillah pasien juga sembuhnya sama dengan yang dirawat di RS lain," katanya. 


Sejak menangani pasien Covid-19, perawat di RSKD Dadi yang terkonfirmasi positif sebanyak 80 orang dan disyukuri Arman sebab perawat-perawat tersebut sudah sembuh dan telah kembali bertugas.


"Jadi mereka tidak perlu lagi menggunakan hazmat saat sedang merawat karena kekebalan tubuhnya sudah bagus, pasien pun senang dan lebih enjoy," urainya. Sementara dokter, sebut Arman, ada 4 orang yang pernah Covid-19, termasuk dirinya.


Bagi Arman, sudah menjadi risiko pekerjaan jika ada perawat dan dokter yang ikut terpapar Covid-19 saat sedang menjalankan tugas, "Ada presiden tertular, perdana menteri tertular. Apalagi perawat dan dokter yang bekerja di daerah positif risikonya besar. Semua akan terkena, tinggal tunggu giliran," ungkapnya. (Lihat juga: Kena Corona, 80 ODGJ di RS Dadi Makassar Disebut Tidak Stres)


Termasuk kata dia jika ada nakes yang meninggal ,"Itu risiko semua. Lawannya virus perawat dengan dokter. Adakah prajurit yang pergi berperang dan tidak mati, pasti ada yang gugur. Begitu juga dengan tenaga kesehatan ini," katanya.


Paling penting yang perlu diingat oleh nakes, baik dokter dan perawat adalah bagaimana meminimalisir risiko itu dengan disiplin  menerapkan 3 M (Mencuci tangan, memakai Masker, dan menghindari kerumunan) dalam setiap rutinitas.


Anggaran yang dihabiskan pihak RSKD Dadi sendiri sepanjang penanganan Covid-19 pada 2020 lalu mencapai Rp19 miliar. Dana tersebut dibelanjakan untuk pengadaan alat kesehatan, obat-obatan, bahan habis pakai, dan keperluan penanganan Covid-19 yang lain.


"Pemkot Makassar siapkan Rp20 miliar, tetapi sisanya kita tidak minta karena takut kesulitan untuk mempertanggung jawabkannya," ujar Arman.


RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar melakukan hal yang sama, sebagai upaya optimalisasi pelayanan pasien Covid-19, RS rujukan utama di Sulsel ini menambah ruang isolasi di ruangan Pavilium Palem Atas sebanyak 40 tempat tidur. 

Peresmian ruangan isolasi ditandai dengan pengguntingan pita oleh Direktur Utama, Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV,FINASIM, M. Kes, pada Kamis (7/1/2021).


Khalid menyampaikan bahwa sesuai dengan instruksi dari Menteri Kesehatan, bahwa setiap rumah sakit diminta untuk melakukan penyiapan kapasitas ruang isolasi menjadi sekitar 30 - 40 persen dari total tempat tidur untuk pasien Covid-19.


"Untuk itu RSWS menambah kapasitas tempat tidur di gedung Palem sebanyak 40 tempat tidur, sehingga total tempat tidur yang dimiliki saat ini berjumlah 187 tempat tidur," ungkap Khalid. 

Gedung isolasi pavilium palem sendiri dikhususkan untuk pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang. Sedangkan untuk gejala berat akan diisolasi di gedung Infection Center. 


Kasubag Humas RS Wahidin, Aulia Yamin mengaku pada awal pandemi, pihaknya juga sempat gagap menghadapi beberapa masalah dalam proses penanganan pasien Covid-19. Sistem pelayanan terganggu lantaran alur dan prosedur yang belum jelas.


Alhasil, banyak kasus yang lolos terindikasi Covid-19 di pelayanan IGD (PJT,Umum dan ponek/obgyn). "Sistem pelayanan disatukan, itu mungkin yang menjadi penyebab saat itu nakes banyak yang ikut tertular," katanya. Selain itu masalah lain adalah APD yang langkah dan SDM terbatas. 


Jika dihitung, sebut Aulia perawat dan yang terpapar sekitar 100 orang sejak awal penanganan Covid-19 di RSUP, Wahidin. "Dokter kami yang meninggal ada 6 orang dan perawat dua orang," sebutnya.


Vaksin Covid-19 Solusi Kurangi Kematian Dokter dan Nakes


Program vaksinasi pemerintah yang dimulai Rabu 13 Januari diharap mampu mengurangi risiko penularan virus dan jumlah kematian nakes akibat Covid-19 yang kembali merokek di pengujung tahun.


Berdasarkan update data secara nasional, terjadi penambahan 8.072 kasus baru Covid-19 di Indonesia pada awal tahun. Total warga yang terkonfirmasi positif mencapai 751.270 orang per 1 Januari. Kemudian, jumlah pasien positif yang sembuh bertambah 6.839 orang. 


Total keseluruhan pasien sembuh kini mencapai 617.936 orang. Untuk korban meninggal bertambah 191 orang. Kasus kematian akibat Covid-19 di  Indonesia kini mencapai 22.329 orang.

Sementara Sulsel pada waktu yang sama, terkonfirmasi sebanyak 31.597 yang positif. Ada penambahan 550 kasus baru dalam sehari dari sebelumnya 31.047 orang. Melansir data laporan media harian Covid-19, selain kasus terkonfirmasi positif juga ada penambahan 505 pasien sembuh. Sementara korban meninggal bertambah lima orang.


Praktisi Kesehatan Dokter Hisbullah sebagai spesialis anestesi menguraikan, program vaksinasi penting guna menekan jumlah tenaga kesehatan yang meninggal selama pandemi. Tidak hanya nakes, masyarakat pada umumnya diharapkan memiliki kekebalan terhadap virus ini ketika telah disuntikkan.


"Dokter dan tenaga kesehatan, juga masyarakat semua saya kira kalau kekebalan tubuh terbentuk dan terhindar dari infeksi Covid-19, maka kita juga akan mengurangi potensi penularan. Tetapi bagaimana pun protokol kesehatan tetap harus dijalankan," katanya.


Semua pihak, lanjutnya, harus mendukung program vaksinasi pemerintah, sebab sejumlah fase telah dilalui untuk membuktikan vaksin tersebut layak digunakan. Dimana berdasarkan hasil uji klinis vaksin Covid-19. Vaksin tersebut diuji oleh otoritas Badan POM serta Majelis Ulama Indonesia. Hasil uji BPOM dan MUI menyatakan vaksin dinyatakan aman, berkhasiat, efektif serta suci dan halal.


Harapan yang sama juga disampaikan Ketua PPNI Sulsel, Abdul Rakhmat bahwa program vaksinasi yang telah dimulai dapat menjadi solusi menekan kasus Covid-19 terutama kepada nakes yang ada di garda terdepan.


"Kami sendiri dari PPNI baik di tingkat pusat sampai ke wilayah dan kabupaten mendukung program implementasi vaksin yang telah melewati uji klinis dan dinyatakan suci dan halal oleh MUI," jelasnya.


Ia juga mengajak pada seluruh masyarakat di Sulsel, terutama perawat yang merupakan garda terdepan dan sangat rentan terpapar dengan virus untuk mendukung program pemerintah ini sebagai harapan baru dalam memutus mata rantai pandemi.


Diketahui, Pemprov Sulsel menerima sebanyak 66.640 dosis vaksin COVID-19 pada tahap pertama yang diperuntukkan bagi tenaga kesehatan. Vaksin tersebut diperuntukkan untuk tenaga medis di 24 kabupaten kota.


Dari total vaksin yang diberikan ke Sulsel, lanjutnya, sebagian besar akan diberikan ke Pemkot Makassar, yakni sebanyak 14.355 dosis vaksin. Selanjutnya, Pangkep (3.151 dosis), Kabupaten Bone (2.775 dosis, Wajo (2.385), Sidrap (2.269), Palopo (2.188 dosis), Gowa (2.155 dosis), Parepare dan Bulukumba (2.079 dosis).


Berikutnya, Luwu (1.961 dosis), Luwu Timur (1.991 dosis), Pinrang (1.932 dosis), Soppeng (1.914 dosis), Sinjai (1.841 dosis), Barru (1.744 dosis), Selayar (1.665 dosis), Maros (1.545 dosis), dan Luwu Utara (1.566 dosis).Selain itu, Tana Toraja (1.524 dosis), Bantaeng (1.440 dosis), Takalar (1.307 dosis), dan stok Pemprov sebanyak 7.513 dosis vaksin.