Proyek Tambang Jadi Pengundang Bencana Alam di Indonesia
Menurut Jatam, Trend Asia dan gerakan Bersihkan Indonesia

KABAR.NEWS, Jakarta - Ratusan hingga ribuan konsensi pertambangan di Indonesia disebut organisasi pemerhati lingkungan hidup jadi pemicu terjadinya bencana banjir, tanah longsor bahkan gempa bumi.
Berdasarkan data yang dirilis gerakan #BersihkanIndonesia bersama Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Trend Asia, ada 131 izin konsesi pertambangan yang berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi.
Kemudian, 2.104 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana banjir, 744 konsesi pertambangan berada di wilayah berisiko tinggi bencana tanah longsor. Data ini dibuka ke publik sehari pasca Hari Kesiapsiagaan Bencana yang dinilai hanya seremonial belaka. (Baca: Peringatan Walhi: Hutan Sulsel Bisa Habis akibat Tambang Nikel)
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, kajian mereka juga mengulas adanya konflik kepentingan oligarki industri ekstraktif yang saat ini berada di lingkar pemerintahan.
"Mereka yang berkuasa inilah, yang dapat membuat dan mendorong berbagai kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif yang memperparah risiko bencana,” kata Ahmad Ashov dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/4/2021).
Sementara itu, 57 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 8.887 Megawatt (MW) dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dengan total kapasitas 6.950 MW dalam status ragam tahap pembangunan berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi. Ini belum termasuk PLTU yang berada di daerah risiko banjir dan tanah longsor.
Koordinator JATAM Merah Johansyah mengemukakan temuan kunci lainnya, yakni adanya peningkatan tingkat kerentanan bencana di Indonesia karena infrastruktur ekologis yang ada sudah dirusak oleh eksploitasi industri ekstraktif.
Padahal, infrastruktur ekologis ini secara alamiah berfungsi untuk menghadapi ancaman bahaya bencana. Seperti fungsi ekologis Gunung Tumpang Pitu dan Salakan di pesisir Banyuwangi Selatan sebagai benteng alami dan gua-guanya menjadi ruang evakuasi warga saat tsunami tahun 1994 terjadi.
Namun, kini kedua gunung ini rusak dan terancam oleh operasi pertambangan emas PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo.
“Warga terdampak dibuat semakin rentan. Namun, warga dibuat tidak boleh menolak pengrusakan oleh industri ekstraktif di wilayahnya. Ruang partisipasi warga ditutup, tak ada hak untuk menolak dan veto bagi rakyat,” ungkapnya. (Baca juga: Hari Bumi, Slank & EcoNusa Luncurkan Video Seleksi Alam )
Merah menambahkan, upaya dari warga malah dihadapkan dengan kekerasan. Data JATAM Nasional mencatat, sepanjang 2014-2020 terdapat 269 korban kriminalisasi dengan menggunakan instrumen regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Seperti di Wadas, penolakan warga dan ancaman penambangan yang berada di kawasan berisiko tinggi bencana tanah longsor diabaikan karena rencana penambangan quarry, batu andesit untuk Bendungan Bener dipaksakan atas nama PSN.
“Kami sangat sadar kalau proyek itu akan mengundang bencana. Karena itu, kami menolaknya,” ujar Mukti, warga Wadas.
Menurut mereka, perayaan tahunan kesiapsiagaan bencana adalah upacara ritual kesia-siaan jika tidak ada langkah pemerintah yang merupakan episentrum bencana sesungguhnya melalui keputusan alokasi ruang dan perizinan.
Presiden Jokowi, Kementerian ESDM, LHK dan badan negara terkait seperti BNPB dan BMKG harus membatalkan undang-undang dan regulasi pengundang bencana seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja.