OPINI: Tahun Politik dan Penegakan Hukum yang Bisa Diatur

Oleh Taqwa Bahar

OPINI: Tahun Politik dan Penegakan Hukum yang Bisa Diatur
Penulis Opini, Taqwa Bahar. (IST)






Beberapa waktu yang lalu, publik dihebohkan dengan pernyataan Jaksa Agung Republik Indonesia, Sanitiar Burhanuddin yang memerintahkan jajarannya untuk menunda pemeriksaan peserta Pemilu 2024.


Peserta Pemilu yang dimaksud Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin adalah calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon legislatif hingga calon kepala daerah.


Sanitiar Burhanuddin memerintahkan jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen dan Tindak Pidana Khusus untuk menunda proses pemeriksaan tahap penyelidikan maupun penyidikan terhadap peserta Pemilu 2024.


Perintah Jaksa Agung untuk menunda pemeriksaan maupun penyidikan perkara peserta pemilu, mempunyai makna yang secara eksplisit diartikan sebagai hukum yang diatur, keadilan yang tergadaikan oleh kepentingan politik dan kekuasaan.


Padahal hukum seharusnya menjadi panglima, tidak bisa diatur-atur apalagi hanya karena alasan momentum Pemilihan umum. Hemat saya, potret hukum di Indonesia sudah tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan bertentangan dengan konstitusi.


Jika hukum ditegakkan secara tidak fair tentu akan melahirkan polemik baru, hukum tidak lagi dipandang sebagai instrumen yang dapat memberikan rasa 
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Mencermati dinamika sosial, politik dan hukum saat ini, maka saya berpandangan bahwa hukum hanyalah milik orang-orang yang punya kekuasaan, sementara rakyat kecil selalu dijadikan objek yang paling sering mendapatkan ketidakadilan.


Istilah hukum sebagai panglima menurut saya hanyalah bahasa kiasan, yang tidak berdasar pada fakta-fakta yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika penegakan hukum dapat diatur, lantas di mana rakyat akan mengadu, di mana keadilan bisa didapatkan?


Konsep equality before the law yang berarti semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum, hanyalah teori dalam materi perkuliahan saja. 


Sementara penerapannya boleh dikata jauh dari apa yang diharapkan. Secara sederhana dapat dilihat dari perkembangan hukum di Indonesia saat ini, dimana hukum dapat diutak-atik oleh politik, sehingga kedudukan hukum sudah tidak lagi menjadi panglima.


Politik kini mengatur semua sistem dan mengubah segala peraturan yang memuluskan langkah dari kelompok yang berkepentingan, sehingga yang salah menjadi benar meski jelas terdapat pelanggaran hukum di dalamnya. Ini yang saya sebut sebagai hukum bisa diatur oleh kepentingan politik.


Para koruptor tentu tertawa dan masyarakat khawatir dengan melihat kondisi demikian yang memunculkan banyak pendapat tentang bagaimana masa depan hukum di Indonesia jika terjadi deal kepentingan di dalamnya.


Sebagai kritik terhadap apa yang menghebohkan baru-baru ini, saya menilai secara subjektif bahwa penegakan hukum khususnya dalam hal penanganan tindak pidana korupsi masih setengah-setengah dan terkesan tebang pilih.


Tidak hanya itu, korupsi yang kini sudah menjamur hampir di semua bidang kerja, sulit untuk diberantas jika penegak hukum masih membijaksanai prilaku koruptif para elit politik.


Ada beberapa aspek penting yang mendasari sistem hukum dalam ketata negaraan, di antaranya sebagai berikut :


1. Keberadaan Hukum yang Mengikat


Indonesia sebagai negara hukum berarti bahwa hukum memiliki kekuatan mengikat yang harus dipatuhi oleh seluruh warga negara dan pemerintah. Hukum menjadi landasan bagi tindakan dan keputusan yang diambil oleh individu, kelompok, lembaga, maupun pemerintah. Tidak ada kekuatan atau otoritas yang berada di atas hukum.


2. Prinsip Kedaulatan Hukum


Makna ini menunjukkan bahwa hukum berlaku setara bagi semua individu dan lembaga, termasuk pemerintah. Tidak ada orang atau lembaga yang dikecualikan dari kewajiban atau bertindak di luar batas hukum. 


Prinsip kedaulatan hukum menjamin perlakuan yang adil, penegakan hukum yang tidak memihak, dan kepastian hukum bagi semua warga negara.


3. Perlindungan Hak dan Kebebasan


Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi manusia serta kebebasan individu yang dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan. 


Hak-hak tersebut termasuk hak hidup, kebebasan berekspresi, hak beragama, hak berpendapat, hak memiliki properti dan sebagainya. Hukum memberikan landasan untuk melindungi hak-hak ini dan menjamin setiap orang dapat hidup dengan martabat dan tanpa diskriminasi.


4. Kepastian Hukum


Indonesia sebagai negara hukum juga berarti adanya kepastian hukum. Hukum harus jelas, dapat diakses, dan diterapkan secara konsisten. Semua warga negara harus dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka, serta konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Kepastian hukum memberikan dasar yang stabil bagi individu, bisnis, dan investasi untuk beroperasi.


5. Penegakan Hukum dan Keadilan


Negara hukum menjamin penegakan hukum yang efektif dan adil. Hukum harus diterapkan dengan konsisten dan tidak memihak kepada siapa pun, tanpa adanya intervensi politik atau kepentingan pribadi. Sistem peradilan independen dan transparan berperan dalam menjamin keadilan dan menyelesaikan 
sengketa secara adil.


6. Tanggung Jawab Pemerintah

Indonesia sebagai negara hukum menempatkan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang harus bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan hukum. Pemerintah diharapkan menjalankan tugasnya dengan prinsip-prinsip keadilan, integritas, dan akuntabilitas.


Aspek-aspek inilah yang seharusnya dipegang secara utuh dan menerapkannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak ada yang bisa merubah hukum hanya melalui kebijakan sepihak suatu institusi.


Dengan kebijakan yang dikeluarkan Jaksa Agung, selain memberi dampak buruk bagi penegakan hukum, juga memberi celah kepada koruptor untuk melakukan pembenaran.

Bisa dengan cara menghilangkan barang bukti dan melakukan langkah-langkah negosiasi dengan oknum-oknum berkepentingan termasuk dengan oknum penegak hukum yang mudah disuap.


Hukum bisa diatur, maka tunggulah kerusakan yang berdampak terhadap penegakan hukum di Indonesia di masa akan datang.


Penulis: Taqwa Bahar (Wakil Ketua Bidang Hukum ICMI Sulawesi Selatan)