Direktur Jenggala Center: Aktivis dan Kaum Intelektual Harus Bersatu Lawan Oligarki
Menurutnya telah terjadi pembajakan demokrasi

KABAR.NEWS, Makassar - Direktur Jenggala Center Syamsuddin Radjab mengajak seluruh elemen aktivis termasuk kelompok intelektual, untuk bersatu melawan oligarki telah membajak demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia untuk kepentingan kelompok mereka sendiri.
Ajakan Olleng sapaan Syamsuddin Radjab, berangkat dari kondisi faktual hari ini, khususnya mengenai penanganan pandemi Covid-19. Dia berpendapat, gonta-ganti kebijakan pemerintah selama pandemi tidak lepas dari orientasi kelompok oligarki yang ingin meraup keuntungan triliunan rupiah saat masyarakat justru semakin melarat.
"Oligaki tak bisa dibiarkan tumbuh subur di negara ini. Semua pihak, terutama kaum intelektual dan aktivis, harus menyampaikan ide, sudut pandang dan solusi harus untuk membendung pembajakan demokrasi yang dilakukan para elit negeri ini," kata Olleng saat menjadi pembicara tunggal pada podcast Tribun Timur bertajuk "Aktivis dan Hukum" yang digelar, Sabtu (13/11/2021).
"Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan akan susah diraih, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggung jawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaanya digunkan untuk mengeksploitasi rakyatnyta untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. Termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," tambah Olleng.
Menurutnya, kaum intlektual dan aktivis harus duduk bersama menyamakan persepsi dan mengkosilidasi semua kekuatan, untuk menemukan solusi dalam rangkat menghadang pergerakan oligarki tumbuh subur di negara ini.
"Karena itu dunia aktivisme itu adalah dunia gerakan, gerakan untuk menginginkan sesuatu dan dengan ideologi-ideologi yang dia yakini untuk itu dia diwujudkan. Jadi dia masuk dalam kerangka yang sangat idealitas di dalam pikiran yang ingin diwujudkan di dalam kenyataan," tutur mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) dan aktivis HMI ini.
Olleng meminta aktivis jangan hanya mengandalkan pergerakan. Pergerakan tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan pengatahuan (knowledge). Pergerakan dan pengetahuan sama-sama penting dalam dunia aktivisme menurut pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar itu.
Aktivis Kampus Harus Belajar Banyak Hal
Sebagai bekas aktivis 98, Olleng menyarankan mahasiswa tidak hanya fokus pada mata kuliah kampus. Tapi, semua hal harus dipelajari, termasuk ilmu yang ada di organisasi ekstra kampus. Sebab, katanya, ada perbedaan ilmu yang bisa di dapat bagi mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra kampus dan di dalam ruangan kuliah.
"Ada perbedaan, kalau di perguruan tinggi itu lebih menekankan pada knowledge. Jadi, pendidikan pengajaran. Kalau di aktivisme itu titik tekannya pada pendidikannya, terutama pendidikan karakter, mentalitas, solidaritas dan juga pikiran-pikiran progresif," kata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini.
Syamsuddin mengatakan komitmen, konsistensi dibangun dengan integritas diri masing-masing. Hal itu ditanamkan dengan pikirkan yang mendalam, mungkin dianggap satu ideologi dan itu gunakan sebagai pijakan gerakan-gerakan, perubahan-perubahan nasional.
"Apalagi memang lingkupnya, karena sering ketemu pagi, siang dan malam, ya akhirnya mengikat secara sikap terbangun solidaritasnya," paparnya.
Contohnya, kata dia, jika ada salah satu aktivis yang ditangkap polisi karena melakukan aksi demonstrasi, maka aktivis lain tidak akan diam. Aktivis yang tidak ditangkap tersebut mengganggap bahwa dirinya menjadi bagian dari aktivis yang ditangkap tersebut. Itu adalah bentuk solidaritas dan komitmen dari sesama aktivis pergerakan.
"Jadi bangunan ini tidak ada di kelompok-kolompok mahasiswa biasa yang hanya sekadar kuliah di kampus tapi tidak membangun kesamaan-kesamaan cara pandang atau visi dari banyak isu-isu yang ada di Indonesia. Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang dil, sejahtera dan makmur. Bahkan cenderung kekuasaanya digunakan untuk mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," tutup Syamsuddin Radjab.