Cerita Nelayan Pesisir 5 Tahun Tinggal di Bawah Kolong Jembatan Kawasan Elit CPI

Cerita Nelayan Pesisir 5 Tahun Tinggal di Bawah Kolong Jembatan Kawasan Elit CPI
Kondisi dua nelayan yang tinggal dibawah jembatan CPI . (Kabar.news/Reza Rivaldy)

KABAR.NEWS, Makassar - Di balik kemegahan pembangunan kawasan elit Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, di Pantai Losari, Makassar, ternyata terdapat dua orang yang menjadikan kolong jembatan sebagai tempat tinggal yang "nyaman". 

Tepatnya di kolong jembatan kawasan CPI yang di atasnya berdiri rangka baja berbentuk Tongkonan. 

Adalah Nuru alias Pendos (68) dan Safruddin Daeng Gassing (52) yang menyulap pondasi jembatan untuk ditempati beristirahat, makan, minum dan hal lainnya seperti layaknya rumah.  

Saat Kabar.News mendatangi tempat mereka pada Minggu (6/12/2020), Pendos dan Daeng Gassing sedang memasak ikan untuk santap siang. Menurut Gassing, ikan itu sudah 2 hari mereka panaskan di atas tungku api. Sementara bahan bakar mereka pungut dari kayu bekas yang berserakan di lokasi.

Kolong jembatan itu disulap seperti layaknya tempat tinggal nyaman. Celah beton dijadikan lemari baju, pondasi seukuran 1,5 meter diberi kasur, karpet, dan selimut agar nyaman saat tidur.

Tak terlihat dinding lebar di tempat mereka. Kebisingan pengunjung kawasan ini sudah tak dihiraukannya, apa lagi bau air laut yang sudah menghitam di bawah meraka.  

Pendos dan Gassing sejatinya adalah nelayan di sekitar pantai losari. Mereka sudah tinggal di bawah jembatan sekitar 5 tahun lalu. 

Pendos mengungkapkan alasan dirinya tinggal di bawah jembatan CPI, karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal akibat penggusuran saat pembangunan atau reklamasi kawasan CPI.

"Karena tidak punya tempat tinggal. Tempat tinggal saya yang dulu digusur, karena pembangunan masjid 99 kubah. Di sini (bawah jembatan) sudah lima tahun, sehari-hari jadi nelayan pesisir pantai. Pendapatan berkurang karena banyak lumpur di pesisir pantai, karena reklamasi. Kalau kita mau dapat uang, jauh ke pulau. Kalau musim hujan begini susah cari ikan," kata pria tua yang rambutnya sudah berwarna putih itu.

Lebih parahnya lagi, keduanya tinggal dibawah jembatan itu tanpa penerangan selama kurang lebih 5 tahun. 

Mereka hidup dengan bertahan hidup dari bantuan dari masyarakat sekitar lokasi CPI.  

"Kalau di sini memang tidak dikena hujan, tapi dingin. Ombak laut juga bahaya. Apalagi kalau musim kemarau banyak tikus, nyamuk, kecoa," ungkapnya.


Menafkahi Keluarga dari Bawah Jembatan Kawasan Elit 

Berbeda dengan Pendos atau Nuru, Safruddin Deng Gassing yang merupakan warga asli Kota Makassar ini terpaksa terpisah dengan anak dan istrinya demi mencari nafkah agar kehidupan keluarganya.

Daeng Gassing sebenarnya punya rumah kontrakan yang dihuni oleh istri dan anaknya yang berjumlah 12 orang. Karena rumah kontrakan itu sempit akhirnya dia memilih kolong jembatan. 

"Ada anak dan istri saya, saya usahakan bagaimana bisa dia layak tinggal karena pemerintah tidak pernah peduli saya akan peduli anak saya sendiri. Saya sewa tempat tinggal sesuai kemampuan saya. Kadang mereka datang, atau kalau ada uang saya temui mereka," ujarnya.

Daeng Gassing berharap kepedulian dari pemerintah agar mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu, dia meminta rumahnya yang pernah berdiri di kawasan CPI dibangun kembali. 

"Sumber pencaharian saya sebagai nelayan pesisir pantai harus dihidupkan lagi jangan sampai dimatikan begini," ungkap Safruddin dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Sampah saja punya tempat, kami ini manusia yang harus juga punya tempat yang layak. Kami bukan gelandangan, kami ini korban penggusuran jangan sampai kami dibawa ke dinas sosial," sambungnya.

Pernah Hidup di Bawah Pohon Tumbang 

Safruddin Daeng Gassing menceritakan sebelum proyek reklamasi kawasan CPI berdiri, terdapat sekitara 30 Kepala Keluarga (KK) yang hidup di kawasan tersebut. Namun setelah terjadi penggusuran akibat pembangunan kawasan elit ini, mereka berpindah-pindah. Pernah memanfaatkan pohon tumbang untuk dijadikan tempat tinggal.

"Kalau di sini tinggal sejak pertama penggusuran itu tahun 2014 kita bingung mau tinggal dimana jadi kalau ada pohon tumbang kita bernaung di situ, sampai berbulan-bulan kita disitu sebelum ke sini (jembatan)," kata Safruddin.


Penulis : Reza Rivaldy/A