Al-Qur'an untuk Masa Depan Umat Manusia

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara (Ketua Fraksi PPP DPR RI)

Al-Qur'an untuk Masa Depan Umat Manusia
Ketua Fraksi PPP DPR RI, Amir Uskara. (Instagram/amir.uskara)






Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara (Ketua Fraksi PPP DPR RI)

Kitab suci umat Islam "turun” ke bumi (Nuzulul Quran) di bulan Ramadan. Itulah sebabnya Ramadan bagi umat Islam adalah bulan mulia. Bulan yang di dalamnya melimpah rahmat dan berkah Allah untuk manusia. 


Di bulan Ramadan inilah, Nabi Muhammad mendapat mukjizat terbesar yaitu Al-Qur'an sebagai petunjuk kehidupan umat manusia. Bagi umat Islam, Al-Qur’an bukan hanya petunjuk teoritis untuk membangun kehidupan sosial yang bermartabat; tapi juga petunjuk praktis sehari-hari untuk meraih kehidupan yang  sejahtera, damai, dan adil. 


Karena itu, dalam membaca Al-Qur’an, ayat-ayat yang bersifat sosial dan praktikal instrumental hendaknya diletakkan secara proporsional -- dalam arti tidak hanya dipahami sebagai sebuah bentuk ideal cita-cita Al-Qur’an (yang, konon, sulit dicapai); tapi hendaknya dipahami sebagai sebuah petunjuk utuh untuk mengarahkan perilaku umat Islam dalam membentuk kehidupan sosial yang indah, adil, damai dan sejahtera. 


Namun demikian, di zaman modern ini, dengan perubahan sosial yang cepat dan kompleks, interpretasi terhadap ayat-ayat sosial harus diperluas. Dalam kaitan inilah, kajian dan penafsiran Al-Qur’an secara sosiologis, perlu mendapat tempat dalam khasanah keislaman. 


Hal ini penting agar umat Islam tidak ketinggalan dalam mengantisipasi perkembangan sosial yang cepat tersebut.


Wahyu Responsif


Sejarah pembentukan agama-agama besar di Timur Tengah sebetulnya merupakan respons Tuhan terhadap perkembanganm kehidupan sosial masyarakat saat itu. Agama Yahudi, misalnya, muncul sebagai respons "langit" terhadap perkembangan sosial yang mengarah pada kultus dan takhyul. 


Ketegasan ajaran tauhid dalam agama Yahudi berhasil membendung penyebaran kultus dan takhyul pada zamannya. Musa sebagai Nabinya orang Yahudi membawa ajaran Tauhid yang sangat revolusioner. Perlawanan Musa terhadap tukang sihir yang penuh tahyul dan Fir’aun (raja diraja Ramses II) menjadikannya sebagai seorang Nabi yang sangat diistimewakan Allah. 


Musa adalah nama yang paling banyak disebut dalam Quran. Dengan ajaran taukhidnya yang tegas, Musa berhasil mematahkan kepercayaan ajaran-ajaran pagan dan kultus  yang beku tersebut.


Dalam perkembangan selanjutnya, orang-orang Yahudi mengalami pendangkalan iman sehingga mengabaikan aspek-aspek humanisme dan kasih sayang yang dicontohkan Musa. 


Untuk mengantisipasi hal-hal seperti itu, Allah pun menurunkan Nabi Isa Ibnu Maryam. Isa, mengusung ajaran cinta dan kasih sayang. Jika dalam agama Yahudi, Tuhan digambarkan amat keras dan kaku, maka sebaliknya dalam ajaran Isa. 

Isa mengajarkan, bahwa Tuhan datang untuk ”merangkul”  orang-orang berdosa agar  kembali ke dalam pelukanNYA. Dalam Al-Qur'an, misalnya, disebutkan bahwa orang-orang Nasrani itu sangat lembut dan penuh kasih sayang. Seperti halnya umat Nabi Musa, umat Nabi Isa pun kemudian mengalami krisis. Sekali lagi, untuk meresponnya Tuhan menurunkan agama Islam. 


Kedatangan Islam ini, sebagai jembatan untuk mengatasi krisis itu. Dalam ajaran tauhid, Islam lebih mirip dengan ajaran Yahudi, sangat monotheis. Tapi dalam ajaran kemanusiaannya (khablum minannas), Islam lebih mirip dengan Kristen. Itulah sebabnya menurut Allamah Ali Syari’ati, Islam adalah agama Tuhan yang menjembatani pertemuan dua agama besar sebelumnya, Yahudi dan Nasrani. 


Sebagai agama penengah, Islam dari aspek usia memang masih terlalu muda. Namun, dari aspek ilmiah, Islam yang membawa kitab suci Al-Qur’an,  sangat matang. Ini karena Al-Qur’an selalu memberikan alternatif pemecahan yang timbul jika ada masalah tak terpecahkan pada ajaran dua agama sebelumnya.


Sebagai gambaran, secara sederhana, jika ada orang melakukan kesalahan – seperti  memukul kamu --  maka Al-Qur’an menganjurkannya untuk membalas kesalahan itu secara adil. Kalau dia memukul kamu, maka  kamu  boleh memukul dia dengan batas-batas yang sama seperti ketika dia memukulmu. Inilah yang dilakukan umat Yahudi. 


Namun demikian, Al-Qur’an pun menyatakan,   memaafkan jauh lebih baik ketimbang membalas tindakan orang tersebut. Dalam kitab Injil, misalnya, disebutkan, jika kamu ditempeleng pipi kirimu, maka berilah pipi kananmu. Kalimat tersebut, maknanya, memaafkan lebih baik ketimbang membalas. Ini persis seperti dinyatakan Quran,  bahwa memaafkan lebih baik dari pada membalas. 


Itulah yang dipraktikkan Rasululllah ketika beliau dilempari batu oleh orang-orang Thaif saat berdakwah. Di Thaif, beliau tidak hanya memaafkan, bahkan lebih jauh lagi mendoakan  agar mereka menyadari kesalahannya. Dan suatu ketika hati mereka terbuka pada kebenaran dan mengikuti ajakan Rasul. Sejarah mencatat, doa Rasul pun terkabul. Orang-orang Thaif yang dulu membencinya, berubah menjadi pecinta Rasul. 


Secara neuroscience, apa yang dicontohkan Rasul adalah memancarkan energi positif untuk kehidupan. Karena energi positif yang dipancarkannnya amat kuat, maka harapan-harapan Rasul untuk klan Thaif kemudian jadi kenyataan. Dengan narasi lain, ujaran cinta jauh lebih kompatibel untuk membangun kehidupan yang lebih baik dari pada ujaran kebencian.


Itulah indahnya Al-Qur’an yang dipraktekkan Rasulullah. Peristiwa Thaif tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an benar-benar terinternalisasi dalam pribadi Rasulullah, yang kemudian mentransformasikannya dalam kehidupan sehari-hari secara sangat elegan dan bermasa depan (prospektif). Peristiwa Thaif menunjukkan Islam harus melihat jauh ke depan untuk mencintai kehidupan. Bukan sebaliknya, menyebar ancaman kematian.


Doa Rasul di Thaif merefleksikan bahwa mengharapkan (berdoa) untuk masa depan kehidupan yang baik bagi umat manusia  jauh lebih berharga dan bermartabat ketimbang mengharapkan (berdoa) untuk kehancuran umat manusia. 


Tepat sekali sabda Muhammad: Tanamlah kurma hari ini, meski kamu tahu besok akan kiamat. Hadis ini menunjukkan, Islam menyintai kehidupan dalam kondisi apa pun. Musuh bagi Sang Nabi adalah ”apa pun” yang akan mendegradasi dan menghancurkan kehidupan.  


Saat ini -- seperti halnya terjadi pada umat Musa dan Isa --  umat Muhammad sedang mengalami krisis. Namun, berbeda dengan masa lalu, di mana Tuhan merespon krisis itu dengan menghadirkan agama dan kitab suci baru, sekarang tidak lagi. 

Tuhan telah menetapkan Islam dan Al-Qur'an sebagai agama dan kitab suci paripurna. Ini karena -- pinjam kata-kata Prof Quraish Shihab -- Allah telah mengaggap umat manusia telah matang dan dewasa. Karena itu, untuk mengatasi krisis tersebut, Allah tidak menciptakan agama baru, melainkan mengingatkan umat manusia untuk kembali kepada ajaran-ajaran kitab sucinya. Bahkan menjelang wafatnya pun, Muhammad berwasiat agar umat Islam berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.


Dewasa ini, ketika masyarakat dunia tengah menghadapi pelbagai problem (seperti global warming, peperangan, terorisme, dishumaniti, dan poverty) yang mencemaskan umat manusia, Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan, hendaknya dibaca kembali dalam perspektif yang lebih luas, komprehensif dan integratif. 


Kita meyakini kitab suci diturunkan Tuhan tujuannya pasti: untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Bukan sebaliknya. Termasuk menyambut  masa depan yang lebih baik untuk manusia. Ajaran Al-Qur'an hendaknya kembali menjadi spirit perubahan dan transformasi untuk menuju kehidupan umat manusia yang lebih damai dan sejahtera seperti diajarkan Muhammad tersebut. 


Kita ingat sejarah -- bagaimana spirit Al-Qur’an telah ditunjukkan Muhammad ketika memasuki Makkah sebagai pemenang perang. Rasulullah memerintahkan kepada pasukannya: jangan mencederai anak-anak, wanita, dan orang tua. Ampunilah siapa pun yang minta ampun. Jangan membunuh binatang, jangan memotong tumbuhan, tegakkan keadilan dan datanglah ke Makkah dengan damai. 


Itulah akhlak Rasul. Dampaknya, semua penduduk Makkah pun menyambut kedatangan Muhammad dan tentaranya bukan sebagai pasukan yang mengalahkan tentara Quraisy, tapi sebagai pahlawan yang menyelamatkan masa depan mereka. 


Itulah gambaran Rasul Muhammad sebagai Qur’an yang hidup. Persis seperti pernyataan Tuhan itu sendiri, bahwa kedatangan Muhammad dan turunnya Al-Qur’an adalah untuk memberi rahmat (cinta altruis) kepada seluruh umat manusia dan alam semesta.