Aksi Pembakaran Al-Qur’an di Swedia: Freedom of Expression vs Violation by Judicial

* Opini oleh Dr. Kadaruddin

Aksi Pembakaran Al-Qur’an di Swedia: Freedom of Expression vs Violation by Judicial
Salwan Momika membakar Al-Qur'an di Swedia. (Wealthypeeps)






Pada Minggu, 2 Juli 2023, selepas Salat Subuh di Shisha sekitar pukul 05.30 WSAS (Waktu Standar Arab Saudi) sambil menunggu waktu matahari terbit, saya tercengang membaca notifikasi Alarabiya News di handphone dengan tajuk “Man who burned Quran in Sweden says planning another burning within 10 days”.


Setelah saya baca tuntas artikel berita tersebut secara berulang-ulang dan mengomparasinya dengan berita yang ada di BBC, Al Jazeera, The New York Times dan media lainnya (agar mendapatkan konteks), ironinya ternyata aksi tersebut adalah atas seizin pihak kepolisian dan pengadilan di Swedia.


Sebagaimana dikutip dari Detiknews, seorang pria pengungsi asal Irak bernama Salwan Momika (37Tahun) melakukan pembakaran Al-Qur’an. Peristiwa itu terjadi di luar masjid utama Stockholm, Swedia pada Rabu, 28 Juni 2023 yang juga bertepatan dengan Hari Raya Iduladha 1444 Hijriah dimana semua umat muslim dunia merayakannya.


Tak hanya membakar, Momika awalnya merobek beberapa lembar Al-Qur'an, kemudian menggosoknya ke bagian sepatu dan membakarnya. Ia juga menginjak-injak Al-Qur'an, memasukkan potongan daging asap ke dalamnya, membakar beberapa halaman sebelum menutupnya, dan menendangnya seperti bola, sambil melambai-lambaikan bendera Swedia.


Dalam konteks hukum internasional, kepolisian dan pengadilan baik secara sumber daya maupun institusi merupakan manifestasi dari negara (hal ini dapat ditemui pada literatur-literatur standar yang ditulis oleh Malcolm Shaw, Jan Klabbers, Anders Henriksen, Anthea Roberts, Akehurst, Ian Brownlie, dan lainnya, dan sebagai sumber rujukan utama dapat dilihat pada Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933).


Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Swedia sebagai entitas negara dan merupakan subjek utama dalam hukum internasional, telah memberikan legitimasi atas tindakan seseorang di wilayah yurisdiksinya untuk melakukan pembakaran Al-Qur’an dengan dalih freedom of expression atau kebebasan berekspresi.


Pertanyaan mendasarnya adalah apakah pembakaran Al-Qur’an dapat dibenarkan dan merupakan bagian dari freedom of expression? Tentu bagi pembaca umum ataupun agamawan (pemuka agama apapun, tidak terbatas pada 1 agama saja) yang tidak memiliki basic hukum akan menjawab bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari penodaan agama atau blasphemy karena jika dibenarkan (khususnya bagi agamawan) maka kitab suci apapun dapat dibenarkan jika terjadi hal yang demikian.


Namun, agar melihat permasalahan ini lebih jernih dan objektif dalam kajian akademik, maka saya akan coba memaparkannya dalam kacamata hukum internasional.


Sebagai seorang ilmuwan yang memiliki tanggung jawab akademik di bidang yang saya tekuni, tindakan Salwan Momika tidak dapat dibenarkan baik dari sisi hukum internasional maupun dari sisi International Human Rights Law. 


Swedia merupakan salah satu negara peratifikasi (yang mengesahkan) ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights 1966) yang merupakan bagian utama dan terpenting dalam merujuk penghormatan negara terhadap aktivitas yang terjadi di dalam yurisdiksinya, dan ICCPR ini merupakan hard law (mengatur dan mengikat) sebagai turunan dari Universal Declaration of Human Rights 1948, sehingga Swedia harus tunduk pada ICCPR ini yang merupakan erga omnes bagi semua negara (lihat penjelasan detail bagian ini dalam Buku Kadarudin, Antologi Hukum Internasional Kontemporer, Yogyakarta, Deepublish, 2020).


Secara yuridis, Pasal 19 ayat (2) ICCPR mengatur bahwa, "Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice."


Namun ayat (2) dalam pasal ini tidak berdiri sendiri melainkan terikat pada ayat (3) yang mengatur bahwa "The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary."


Hal inilah yang mendasarkan bahwa kebebasan berekspresi tergolong sebagai derogable rights yakni pelaksanaan atas hak tersebut dapat dibatasi. Pembatasan ini juga diperkuat dalam Prinsip Siracusa yang mengatur bahwa hak dan kebebasan dalam hak sipil dan politik harus sejalan dengan penghormatan terhadap hak, reputasi dan kebebasan orang lain. 


Sehingga dalam konteks ini tidak ada peluang sedikitpun bagi Swedia (melalui kepolisian dan pengadilan) untuk melegitimasi atau bahkan hanya melakukan pembiaran terhadap aksi yang dilakukan oleh Salwan Momika di wilayah yurisdiksinya, karena selain melanggar hukum internasional dan International Human Rights Law, tindakan pembiaran maupun legitimasi melalui pengadilan juga telah merusak arti penting untuk menjaga penghormatan terhadap nilai-nilai fundamental rakyatnya (moralitas publik) dengan dalih freedom of expression.


Maka tentu respons keras dan kecaman dari negara - negara yang tergabung dalam The Organisation of Islamic Cooperation (OKI) dapat dipahami secara kontekstual dan perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Swedia dalam menjalankan roda pemerintahannya, karena akan berakibat terganggunya hubungan antar negara yang merupakan penyimpangan dari tujuan dibentuknya PerserikatanBangsa-Bangsa, dimana Swedia menjadi salah satu negara anggota.


Dengan demikian, makaapa yang terjadi di Swediamerupakanbentukviolation by judicial karenatelah melegitimasi aksi yang dilakukan oleh Salwan Momika di wilayah yurisdiksinya. Swedia memang pernah memiliki peraturan tentang penodaan agama (Blasphemy Law), sebelum kemudian dicabut oleh Parlemen Swedia pada tahun 1949. 


Kemudian pada tahun 1970. Dalam konteks ini, Swedia perlu belajar dan bercermin pada Yunani, Rusia, Vatikan, Arab Saudi, atau bahkan Indonesia karena masih mempertahanka Blasphemy Law.


Apa yang telah terjadi di Swedia harus segera dihentikan, negara-negara perlu mengambil tindakan baik melalui mekanisme di Dewan HAM PBB, OKI, Asia-Afrika, atau bahkan jika perlu beberapa negara dapat melakukan langkah awal dengan melakukan pemutusan hubungan diplomatik sementara hingga situasi ini dapat kondusif (mengingat mekanisme di sejumlah organisasi internasional membutuhkan waktu yang berlarut-larut). 


Hal ini dapat menjadi pelajaran baik bagi Swedia secara khusus, maupun bagi negara -negara lain dalam melakukan tindakan pencegahan sehingga kejadian serupa tidak terulang.


Maka benarlah apa yang dikatakan Ibnu Sina bahwa “saat kebodohan menguasai kesadaran, maka kesadaran memiliki hak untuk berbuat hal paling bodoh”.

Penulis: Dr. Kadarudin, Dosen pada Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin