Abang Fauzi dan Cerita dari Penjual Nasi Kuning
* Selera merakyat bekas aktivis

Tidak banyak pejabat negara bisa duduk menikmati sajian kaki lima. Merasakan setiap aroma yang terhidang, mendengar lalu lalang bising kendaraan dan duduk sama rendah.
Juga, tak semua wakil rakyat di Senayan bisa merasakan langsung denyut perekonomian rakyat yang diwakilinya. Turun untuk membeli atau sekadar memberi support.
Tapi, pernyataan di atas sepertinya tidak berlaku untuk Muhammad Fauzi, Anggota DPR RI asal daerah pemilihan tiga Sulawesi Selatan.
Abang Fauzi sapaan karibnya, pada malam tidak diduga, Rabu, 15 September 2021, datang menikmati sajian nasi kuning pedagang kaki lima di Kota Palopo. (Baca juga: Prihatin Mobilitas Masyarakat, Fauzi Temui BBPJN minta Percepat Perbaikan Jembatan Miring Palopo)
Kehadiran Abang disebut tidak diduga, karena tanpa rencana, maupun melalui protokol layaknya seorang pejabat negara. Penulis juga selaku penjual nasi kuning menyaksikan "fenomena langka" seperti ini.
Abang mendarat di lapak jualan kami "Jajan di Tamara" berawal dari panggilan telepon seorang kawan yang turut mendampingi. Saya awalnya tidak menyangka, dia menyebut Abang ingin datang menyantap nasi kuning.
Kolase Foto: Percakapan saya dengan kawan yang mendampingi Muhammad Fauzi sebelum mendarat di gerobak Nasi Kuning Jajan di Tamara di Palopo, 15 September 2021. (Tangkapan layar/Arya Wicaksana)
"Di mana lokasi jualanta? Saya bertiga sama Abang Fauzi mau singgah makan," ujar kawan melalui sambungan WhatsApp. Saya pun langsung menyampaikan informasi kepada ibu untuk merapikan kursi dan lainnya.
"Ada Abang Fauzi mau datang, suaminya Ibu Indah yang bupati Luwu Utara. Bersih - bersihki," pinta saya. Mendengar itu, Ibu terlihat panik merapikan meja, membersihkan lokasi jualan kami dan tentunya, menyiapkan hidangan seenak - enaknya.
Kepanikan Ibu terlihat wajar. Maklum saja, ini pertama kalinya kami kedatangan pembeli seorang pejabat sejak dua tahun lapakan kecil ini berdiri. Baru kali ini ada pejabat yang punya nama mampir.
Sepuluh menit berselang, Abang Fauzi bersama seorang pria dan kawan saya, datang menumpangi mobil Toyota Avanza. Saya pun mempersilahkan ketiganya duduk di kursi warung Sarabba di samping jualan kami agar lebih nyaman.
Ini perjumpaan kedua saya dengan Abang Fauzi. Tatap muka pertama terjadi saat saya mewawancarai Abang mendampingi sang Istri, Indah Putri Indriani, mendaftar ke KPU Luwu Utara sebagai calon bupati.
Muhammad Fauzi (kanan) mendampingi istri, Indah Putri Indriani, saat mendaftar sebagai bakal calon Bupati Kabupaten Luwu Utara di kantor KPU Luwu Utara. (KABAR.NEWS/Arya Wicaksana)
Selera Merakyat bekas Aktivis
Kedatangan Abang Fauzi di tempat kami menjual, menunjukkan politisi Golkar ini punya selera kuliner merakyat. Bukan karena Ia berasal dari partai kuning. Abang bertandang di tengah pandemi Covid-19 melemahkan usaha kami.
Saya yakin, selera merakyat Abang Fauzi tidak datang begitu saja. Itu bukan aji mumpung untuk menunjukkan diri dekat dengan rakyat kecil seperti kami. Juga bukan gimmick, apalagi bertujuan elektoral.
Watak merakyat seperti itu ditempa dari proses panjang sebagai aktivis saat masih kuliah. Pria kelahiran 6 September 1968 ini, memang dikenal aktif sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat masih kuliah. Menukil istilah Antonio Gramsci, Fauzi masa kuliah adalah Intelektual Organik.
Kita mahfum, bahwa aktivis mahasiswa kerap ala kadarnya untuk urusan isi perut; terkadang rebus mie instan, tahan lapar dan pastinya makan dari jajanan kantin kampus.
Abang tentunya pernah melalui proses tahan lapar, makan ala kadarnya saat ber-mahasiswa. Sehingga tak heran, selera "makan kecil" terbawa sampai Ia duduk di Senayan. (Baca juga: Turnamen Voli Jadi Bukti Muhammad Fauzi Peduli Pengembangan Olahraga)
Kawan yang mendampingi Abang Fauzi bercerita, bahwa selera kuliner Presidium KAHMI ini memang di pinggir jalan. Padahal, di sekitar tempat saya menjual nasi kuning, ada banyak rumah makan. Mulai dari Warung Masakan Padang, Sop Sodara hingga Pizza Hut.
Di lapak "Jajanan Tamara", Abang bersama rombongan memilih mengisi perut dengan Nasi Kuning Daging Telur, yang saat itu harganya masih Rp15 ribu.
"Suka memang beliau dengan makan - makanan seperti ini. Dia sendiri tadi minta cari penjual nasi kuning," kata kawan yang mendampingi, sembari berbisik.
Malam itu, Abang terlihat menikmati hidangan kami. Pembawaannya tenang, tak banyak bicara. Sesekali beliau mengambil tisu hingga makanan pun lahap.
Perjamuan berlanjut dengan beragam cerita. Mulai dari kondisi Luwu Utara, hingga saya memperkenalkan diri sebagai "adik" yang merupakan bekas anak HMI.
Selebihnya untuk Keponakan
Kurang - lebih 30 menit menyantap nasi kuning yang kami hidangkan, Abang Fauzi bersama rombongan izin beranjak untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Makassar.
Sebelum itu, Abang memanggil saya menanyakan harga tiga porsi nasi kuning yang mereka santap. Saya lantas menyebut cuma Rp45 ribu. Namun, Abang Fauzi justru mengeluarkan tiga lembar uang bergambar Soekarno - Hatta dari dompetnya.
"Selebihnya untuk keponakan, yah," tutur Abang sembari menunjuk ke arah keponakan saya yang kecil duduk di dekat gerobak. Macuk!!
Sayangnya momen sederhana itu tak sempat diabadikan. Di antara kami tak ada yang mengeluarkan ponsel untuk mengambil gambar. Hal ini juga menandakan bahwa kesederhanan itu tidak untuk dipertontonkan.
Saat rombongan Abang Fauzi meninggalkan lokasi, Pak Haji penjual Sarabba di samping gerobak kami datang menghampiri: "Arya, bukan suaminya ibu Indah Bupati Masamba itu?" tanya Pak Haji, yang saya tahu beliau anggota paguyuban Masserenpullu dan organisasi ini punya kaitan erat dengan Indah Putri Indriani.
Jika Abang terus mempertahankan kesederhanaannya, saya memprediksi, perolehan suara 63 ribu suara saat Pemilu 2019 akan bertambah bila kembali bertarung ke Senayan. Terima Kasih, Abang Fauzi!
Penulis: Arya Wicaksana, Wartawan & Penjual Nasi Kuning